Bunga Rampai

Image result for bunga
BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan dunia yang  penuh dengan pengorbanan yang mahal. Karena untuk  mencapai dan mewujudkan hasil suatu pendidikan yang memadai, diperlukan pengorbanan yang sangat besar dan tidak ternilai. Baik berupa uang, benda, waktu, tenaga, pikiran dan perasaan. Maka dari itu kita harus memelihara esensi dan eksistensinya dengan baik dan sedapat mungkin selalu mempertahankan serta melindunginya dari berbagai macam penyelewengan.
Pendidikan juga sering dikatakan sebagai suatu bidang yang paling anti dan peka terhadap penyelewengan. Hal ini dikarenakan segala sesuatu penyelewengan, apapun bentuknya betapapun kecilnya tetap terasa sebagai suatu hal yang dipantangkan dan diharamkan untuk terjadi  kapanpun, dimanapun dan siapapun pelakunya. Segala bentuk penyelewangan di bidang pendidikan akan besar pengaruhnya terhadap nama baik, kewibawaan, dan martabat pihak pelaksanya karena kepercayaan masyarakat mudah lenyap setiap saat.
Akan tetapi yang terjadi saat ini, pendidikan sudah disalahgunakan. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kasus penyelewengan yang terjadi di dunia pendidikan akhir-akhir ini. Sejauh ini sanksi yang diberikan pada pelaku penyelewangan dalam dunia pendidikan hanyalah sanksi sosial belaka. Akibatnya para pelaku penyelewengan tidak merasakan efek jera yang berarti. Maka dari itu, kita membutuhkan sebuah payung hukum tertulis di bidang pendidikan  untuk melindungi  dunia pendidikan dari penyelewengan. Payung hukum tersebut dapat berupa tindak pidana pendidikan.
Tindak pidana pendidikan merupakan bagian integral dari tindak pidana pada umumnya. Di Indonesia belum ada ketentuan ketentuan khusus yang mengatur tindak pidana pendidikan sejak tahun 1945. Kentetuan tersebut baru muncul pada tahun 2003 dengan dikeluarkannya Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Bab X pasal 67-71 diatur mengenai ketentuan pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pendidikan. Akan tetapi banyak yang belum belum mengetahui secara rinci tentang tindak pidana pendidikan. Untuk itu  kami disini akan mencoba menguraikan tentang apa itu tindak pidana pendidikan, urgensi tindak pidana pendidikan, regulasi tindak pidana pendidikan dan contoh kasus penyelewengan dibidang pendidikan.

  1. Rumusan Masalah
  1. Apa definisi dari tindak pidana pendidikan?
  2. Bagaimana penggolongan tindak pidana pendidikan?
  3. Apa saja bentuk-bentuk tindak pidana dalam bidang pendidikan?
  4. Apa saja fungsi pengaturan tindak pidana pendidikan?
  5. Apa urgensi tindak pidana pendidikan diatur secara khusus?
  6. Bagaimana cara menganalisis kasus tindak pidana pendidikan?
  1. Tujuan
  1. Untuk mengatahui definisi tindak pidana pendidikan.
  2. Untuk mengetahui penggolongan tindak pidana pendidikan.
  3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana dalam bidang pendidikan.
  4. Untuk mengetahui fungsi pengaturan tindak pidana pendidikan.
  5. Untuk mengetahui urgensi tindak pidana pendidikan diatur secara khusus.
  6. Untuk mengetahui cara menganalisis kasus tindak pidana pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Definisi Tindak Pidana Pendidikan
Tindak pidana pendidikan adalah suatu tindakan yang dilakukan baik disengaja maupun tidak disengaja yang berhubungan dengan tindak kejahatan dan pelanggaran dalam bidang pendidikan dengan segala motif dan tujuannya yang dapat dilakukan oleh pihak manapun baik dari luar maupun pihak dalam seperti pendidik, peserta didik bahkan pemerintah selaku penanggung jawab pendidikan.
Pengertian tindak pidana pendidikan tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana pada umumnya, yang membedakan hanyalah kekhususannya dalam bidang pendidikan. Secara umum dan garis besarnya, tindak pidana pendidikan dapat didefinisikan suatu sikap atau tindakan yang didalamnya memiliki beberapa unsur di bawah ini, antara lain:
  1. Dilakukan dalam bidang pendidikan serta berbagai kaitan yang ada di dalamnya.
  2. Berupa kejahatan ataupun pelanggaran dengan segala tujuannya.
  3. Baik disengaja maupun tidak disengaja.
  4. Pelakunya dapat siapa saja, baik itu seorang pengajar baik di dalam ataupun di luar lembaga pendidikan formal, ataupun seorang murid, ataupun pihak orang tua atau wali murid ataupun mungkin juga orang lain yang sikap tindaknya baik secara langsung ataupun tidak langsung mendatangkan pengaruh yang buruk melalui niatnya yang buruk pula terhadap kelangsungan suatu pendidikan, baik pendidikan tersebut bersifat formal maupun non-formal.
  5. Berwujud sebagai suatu kesalahan baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur secara yuridis dalam peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Dengan perkataan lain, meskipun belum ada peraturan hukum yang menandaskan bahwa suatu perbuatan itu adalah salah dan terlarang, namun berdasarkan berbagai nilai, asas, sendi, dan norma-norma kebaikan serta kepatutan yang hidup dalam masyarakat, bila perbuatan tersebut terjadi dalam bidang pendidikan maka dapat dikatakan sebagai suatu tindakan tersebut dalam hakekat dan kenyataannya berakibat buruk atau mendatangkan pengaruh yang buruk namun tidak secara langsung bagi dunia pendidikan, maka perbuatan itu pun dalam hal ini sudah harus dapat dikualifisirkan sebagai suatu “tindak pidana pendidikan”.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat diartikan bahwa tindak pidana pendidikan tidak berbeda dengan tindak pidana pada umummya, yaitu memiliki sifat melawan hukum. Tindak pidana pendidikan tidak hanya menimbukan kerugian dalam proses pelaksanaan pendidikan, tetapi merugikan juga pelaku penting dalam pendidikan yaitu pendidik dan peserta didik. Mereka banyak menerima kerugian baik secara formal maupun material.

  1. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Pendidikan
Bentuk-bentuk tindak pidana dalam bidang pendidikan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 dalam pasal 67-71 adalah sebagai berikut:
  1. Pasal 67 Ayat (1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  2. Pasal 68 Ayat (1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ayat (2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  3. Pasal 69 Ayat (1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 Ayat (2) dan Ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  4. Pasal 70 Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  5. Pasal 71 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Secara garis besar bentuk-bentuk tindak pidana yang di lakukan dalam pendidikan di antaranya:
  1. Ijazah palsu, sertifikat kompetensi, gelar akademik, dan vokasi.
  2. Penyelenggara pendidikan yang dinyatakan ditutup berdasarkan Undang-Undang ternyata masih beroperasi .
  3. Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
  4. Penyelenggara pendidikan yang memberikan gelar guru besar yang tidak sesuai dengan Undang-Undang.
  5. Penyelenggara pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tidak sesuai dengan yang disyaratkan Undang-Undang.
  6. Lulusan yang karya ilmiah yang di gunakan akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana di maksudkan dalam pasal 25 ayat 2 terbukti merupakan jiplakan.
  7. Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin pemerintah atau pemerintah daerah.
Di dalam KUHP pemalsuan ijazah ini masuk kedalam pemalsuan surat yaitu pasal 263 KUHP yang berbunyi: “barang siapa yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang di peruntukkan untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu di ancam jika memakai tersebut dapat menimbulkan kerugian karna pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

  1. Penggolongan Tindak Pidana Pendidikan
Secara formal praktis, tindak pidana pendidikan pada garis macamnya dapat digolongkan melalui penjabaran sebagai berikut:
  1. Tindak pidana pendidikan dalam arti sempit yang secara fundamental dapat dikemukakan sebagai berikut:
  1. Tindak pidana pendidikan yang dilakukan oleh seorang pendidikan dalam arti seorang pengajar di lembaga-lembaga pendidikan formal yang pada prakteknya dapat berwujud sebagai aneka perbuatan seperti penekanan nilai, penekanan yang berlatar belakang semata-mata pada unsur komersial, dan kelainan jiwa oknum pengajar yang bersangkutan.
  2. Tindak pidana pendidikan yang dilakukan oleh seorang pendidik, yang dalam arti seorang pengajar di lembaga-lembaga atau usaha-usaha pendidikan non-formal ekstra kurikuler, yang prakteknya dapat berwujud sebagai penekanan perbuatan seperti: penyelenggaraan pendidikan yang bersifat sangat komersial namun tidak sekali menghiraukan nilai, mutu dan tanggung jawab atas segala perbuatannya.
  3. Tindak pidana yang dilakukan oleh orang tua murid, yang pada prakteknya dapat berwujud sebagai aneka perbuatana seperti mengajarkan anak yang belum dewasa untuk berjudi, dan melakukan tindak pidana baik kejahatan maupun pelanggaran.
  4. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak atau murid, yang pada prakteknya dapat berwujud sebagai aneka perbuatan seperti melakukan berbagai macam corak kejahatan terhadap pengajar, baik dilingkungan lembaga pendidikan formal, maupun diluar lingkungan lembaga pendidikan formal.
  5. Tindak pidana pendidikan yang universal, yakni tindak pidana dalam bidang pendidikan yang pelakunya bisa siapa saja, korbannya bisa siapa saja, halnya pun bisa siapa saja. Contoh tindak pidana yang universal misalnya pencemaran nama baik, pembocoran kerahasiaan mutlak yang merusak mutu pendidikan dan pengajaran, penyelewengan atau penyalahgunaan beasiswa.
  1. Tindak pidana pendidikan dalam arti luas, yang secara garis besarnya terdiri dari:
  1. Tindak pidana pidana dalam arti sempit.
  2. Feodalisme ilmiah, pada hakekatnya berarti suatu pola sikap tindak kesemena-menaan yang dilakukan oleh suatu pihak tertentu terhadap pihak lain yang secara teknis-hirarkhis atau dan secara strategis-operasional seakan tidak berdaya menolak, menghindar ataupun menangkis.

  1. Fungsi Pengaturan Tindak Pidana Pendidikan
Hukum senantiasa hidup dalam masyarakat, keduanya hampir tidak dapat dipisahkan bahkan terjalin hubungan timbal balik. Hal ini sesuai dengan adagium yang berlaku universal ubi societas, ibi ius, yang artinya: dimana ada masyarakat, maka di sanalah hukum akan ada. Hukum lahir sebagai hasil konstruksi sosial masyarakat dan masyarakat pula yang akan menggunakan hukum dengan tujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan yang dikehendaki.
Hukum setidaknya mempunyai 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat yakni:
  1. Sebagai sarana pengendalian sosial.
Sebagai bagian dari pengendalian sosial, hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
  1. Sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial dari tindakan kriminalitas.
Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
  1. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu dalam menegakkan hukum.
Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaiki substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

Sebagaimana pula disebutkan fungsi pengaturan tindak pidana pendidikan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencagahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, adalah sebagai berikut:
  1. Pasal 2, Pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dimaksudkan untuk:
  1. Terciptanya kondisi proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan;
  2. Terhindarnya semua warga sekolah dari unsur-unsur atau tindakan kekerasan; dan
  3. Menumbuhkan kehidupan pergaulan yang harmonis dan kebersamaan antar peserta didik atau antara peserta didik dengan pendidik, tenaga kependidikan, dan orangtua serta masyarakat dalam satu satuan pendidikan maupun antar satuan pendidikan.
  1. Pasal 3, Pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan bertujuan untuk:
  1. Melindungi anak dari tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan maupun dalam kegiatan sekolah di luar lingkungan satuan pendidikan;
  2. Mencegah anak melakukan tindakan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan maupun dalam kegiatan sekolah di luar lingkungan satuan pendidikan; dan
  3. Mengatur mekanisme pencegahan, penanggulangan, dan sanksi terhadap tindakan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang melibatkan anak, baik sebagai korban maupun pelaku.


  1. Urgensi Tindak Pidana Pendidikan Diatur Secara Khusus
Perlunya diatur tindak pidana pendidikan secara khusus untuk menjamin terjaganya keutuhan, kesempurnaan dan keaslian citra perspektif pendidikan yang efisien dan efektif, diperlukan adanya norma-norma kehidupan yang baik secara fomal mauun material-psikologis lebih mampu mendatangkan kesadaran dan bila perlu paksaan bagi setiap orang untuk senantiasa menaati berbagai norma, kode etik dan nilai-nilai kebaikan yang melandasi dunia pendidikan.
Bahwasannya dalam bidang pendidikan terdapat berbagai faktor yang harus diperhatikan dan diperhitungkan secara kompleks, sebagai faktor-faktor yang membentuk prinsip-prinsip dasar operasional pendidikan secara mutlak yang harus diindahkan dan dipenuhi, tanpa dapat ditawar-tawar lagi, bila ingin mencapai pendidikan yang memadai. Pengaturan tindak pidana pendidikan bagi para perilakunya diatur secara peraturan hukum khusus (lex specialis) yang secara horizontal memperluas dan secara vertikal memperdalam pertanggungjawaban setiap orang dalam dunia pendidikan, yang selama ini masih didasarkan pada pengaturan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Pada dasarnya tindak pidana pendidikan perlu diatur secara khusus guna menghindari adanya kesalahan dalam hal dunia pendidikan dan memberikan efek serta pengaruh jera bagi yang melakukannya. Dengan adanya tindak pidana pendidikan secara langsung dapat memberikan keamanan bagi para civitas dalam dunia pendidikan. Sehingga mereka tidak perlu takut akan adanya tindak pidana pendidikan. Merekapun dapat bereksplorasi dalam dunia pendidikan guna meningkatkan mutu pendidikan termasuk sumber daya yang ada. Hakekatnya setiap penyelewengan terjadi di dunia pendidikan baik secara kualiatatif maupun kuantitatif dapat menimbulkan pengaruh yang amat buruk bagi masyarakat dan kehidupan umum. Penyelewengan dalam dunia pendidikan menimbulkan dampat yang lebih besar dibanding bidang lainnya, karena pendidikan adalah bidang yang merupakan jalan ilmu pengetahuan, budi pekerti, agama, kebudayaan, nilai harkat, martabat serta wibawa nusa dan bangsa, dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Sehingga perlu disimpulkan bahwasannya perlu adanya tindak pidana pendidikan diatur secara khusus demi memperlancar mutu pendidikan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 67-71 UU Nomor 20 tahun 2003, sebagai berikut:
  1. Pasal 67 ayat (1) : perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetisi, gelar akademik, profesi, dan atau vokasi tanpa hak pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan atau pidana denda paling banyak satu milyar rupiah.
Ayat (2) : penyelenggara perguruan tinggi yang di nyatakan di tutup berdasarkan pasal 21 ayat 5 dan masih beroperasi di pidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan atau denda paling banyak satu milyar rupiah.
Ayat (3) : penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar pasal 23 ayat 1 di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan atau pidana denda paling banyak satu milyar rupiah.
Ayat (4) : penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagai mana di maksut dalam pasal 31 ayat 3 di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan atau pidana denda paling banyak satu milyar rupiah.
  1. Pasal 68 ayat (1) : setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetisi, gelar akademik, profesi, dan atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan di pidana dengan penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah.
Ayat (2) : setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetisi, gelar akademik, profesi, dan atau vokasi yang di peroleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan di pidana dengan penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah.
Ayat (3) : setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang di terima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana maksut dalam pasal 21 ayat 4 di pidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan atau pidana denda paling banyak duaratus juta rupiah.
Ayat (4) : setiap orang yang memperoleh dan atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan pasal 23 ayat 1 dan atau ayat 2 di pidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah.
  1. Pasal 69 ayat (1) : setiap orang yang menggunakan memberikan ijazah, sertifikat kompetisi, gelar akademik, profesi, dan atau vokasi, yang terbukti palsu di pidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah.
Ayat (2) : setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan atau sertifikat kompetensi sebagaimana di maksud dalam pasal 61 ayat 2 dan ayat 3 yang terbukti palsu di pidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah.
  1. Pasal 70 : lulusan yang karya ilmiah yang digunakan nya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana di maksud dalam pasal 25 ayat 2 terbukti merupakan jiplakan di pidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan atau pidana denda paling banyak dua ratus juta rupiah.
  2. Pasal 71 : penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin pemerintah atau pemerintah daerah sebagaiman di maksud dalam 62 ayat1 di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan atau pidana denda paling banyak stu milyar rupiah.


  1. Studi Kasus
Studi Kasus 1
Pak A ialah seorang guru di sebuah sekolah (formal). Pada suatu ketika Pak A itu menyuruh si B yang menjadi salah seorang muridnya untuk mengikuti pelajaran tambahan (les) padanya di luar sekolah, karena si B memang lemah prestasinya dalam pelajaran yang bersangkutan. Tetapi meskipun Pak A sendiri yang menyuruh si B ikut les dengannya, namun ia mengutip pembayaran tarif les yang ditentukannya terhadap si B itu.
Pertanyaan/dipersoalkan:
Dapatkah Pak A itu dikatakan melakukan pemorotan terhadap si B?
Apakah Pak A itu dapat dikatakan memanfaatkan kelemahan si B untuk menguntungkan dirinya?
Analisis, Dalam menjawab persoalan ini, kita harus kembali menyelidiki dahulu:
  1. Apakan tindakan yang diambil Pak A itu adalah suatu perbuatan yang negatif?
Tidak, mengingat karena kelemahannya memang pantas dan perlu diberikan bimbingan belajar tambahan (les) di samping jam belajar sekolah rutin. Sedangkan mengutip pembayaran tarif belajar tentu saja sudah menjadi hak dari Pak A sendiri sebagai imbalan jasanya memberikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam mengajar si B.
  1. Apakah tindakan Pak A itu berwujud atau bermakna suatu pengecualian ataukah penyelewengan?
Suatu pengecualian, mengingat hanya si B saja selaku murid yang lemah prestasinya yang diharuskan ikut les padanya.
  1. Demi kepentingan siapakah Pak A mengambil tindakan menyuruh si B itu mengambil les ekstra padanya?
Untuk kepentingan si B sendiri, yakni agar si B dapat mengejar kelemahannya dari teman-temannya di sekolah dalam mengatasi mata pelajaran yang bersangkutan.
  1. Adakah manfaat ditempuhnya kebijaksanaan itu bagi si B?
Ada, mengingat melalui les ekstra itu merupakan suatu kesempatan terbaik untuk menutupi segala kekurangannya dengan sepadat mungkin memperbaikinya serta mengejar segala ketinggalannya selama ini.
Kesimpulan: Tidak ada unsur tindak pidana pendidikan pada perbuatan Pak A tersebut, sehingga hal ini berarti bahwa: Pak A tidak dapat dikatakan melakukan pemorotan terhadap si B dan juga tidak dapat dikatakan memanfaatkan kelemahan si B untuk menguntungkan dirinya.

Studi Kasus 2
Pak D ialah seorang dosen mata kuliah yang tergolong sebagai suatu Ilmu Pengetahuan Sosial. Dalam mengoreksi pekerjaan ulangan/testing/ujian para mahasiswanya Pak D itu bersikap sangat ketat dan sangat terpaku pada bahasa diktat atau buku yang dipakai sebagai bahan pelajarannya tersebut, sehingga hal ini memaksa para mahasiswanya untuk belajar dengan cara menghafal semua bahan wajibnya. Dalam setiap pengujian, jawaban pemikiran versi mahasiswa sendiri meskipun sebenarnya mengandung kebenaran, namun tidak pernah atau hampir tidak mendapat penilaian yang selayaknya.
Pertanyaan/dipersoalkan:
Apakah kebiasaan Pak D dalam mengoreksi pekerjaan mahasiswanya itu dapat digolongkan sebagai tindak pidana pendidikan?
Bila dapat, tindak pidak pidana pendidikan macam manakah yang dapat dipersalahkan atas dirinya?
Analisis:
  1. Kebiasaan Pak D dan sikapnya dalam mengoreksi dan menilai pekerjaan mahasiswanya tersebut  dapat digolongkan atau termasuk suatu tindak pidana pendidikan, berhubung:
  1. Cara dan kebiasaan tersebut mau tidak mau akanmenyebabkan timbulnya kesan bagi mahasiswa bahwa mereka harus menerapkan “PBWHM” (Pola Belajar Wajib Hafal Mati) dalam belajarnya, sebagai suatu cara belajar yang paling buruk.
  2. Cara dan kebiasaannya tersebut adalah cara pengajaran dan pengujian yang terburuk dalam dunia pendidikan dan pengajaran, mengingat manfaatnya bagi mahasiswa sama sekali tidak ada dan bahkan sebaliknya justru berakibat buruk bagi mahasiswanya, berhubung cara seperti itu pada hakekatnya:
  1. Membunuh obyektivitas dan mutu pendidikan.
  2. Membunuh inisiatif dan melumpuhkan kreativitas serta daya pikir sehat mahasiswanya.
  3. Membuat mahasiswa menjadi terbiasa untuk berpandangan picik.
  1. Cara dan kebiasaan itu jelas tidak didasarkannya atas kepentingan mahasiswa dan bahkan sebaliknya, memudahkan dan mempercepat pengoreksian bagi dosen, agar:
  1. Jawaban yang tidak sama persis kalimatnya dengan yang tertulis pada naskah asli bahan wajib dengan segera dapat ia salahkan atau ia kurangi nilainya.
  2. Ia selaku pengajar yang mals mengoreksi dengan caranya ini menjadi tidak susah payah lagi untuk menilai dan mempertimbangkan kadar kebenaran yang terkandung dalam jawaban mahasiswa yang berasal dari pemikiran sendiri.
  1. Cara dan kebiasaan ini baik dipandnag dari sudut penilaian teknis-edukatif maupun dari segi material-edukatif dapat disebut sebagai suatu penyelewengan mengingat tidak satupun alasan yang membenarkan penerapan cara dan kebiasaan tersebut apalagi dalam ilmu-ilmu sosial.
  2. Cara dan kebiasaan Pak D ini jelas dengan sendirinya akan menimbulkan pengaruh yang buruk bagi nilai atau mutu, wibawa, martabat dan aktivitas pengajaran.

Kesimpulan:
Tindak pidana yang dapat disalahkan atas Pak D ialah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pendidik dalam arti seorang pengajar di lembaga pendidikan formal yang dalam hal ini berwujud sebagai:
  1. Pengajaran dan pengujian dengan metode yang buruk sehingga menghasilkan mutu yang rendah, yang tidak ada manfaatnya bagi mahasiwanya bahkan melemahkannya, mengingat hal ini membuat mahasiswa menjadi:
  1. Picik atau berpandangan sempit, tidak mau mengakui dan tidak mau membenarkan, memperlihatkan atau menghargai pendapat orang lain yang bukan pendapat dosennya.
  2. Sama sekali buta akan kebijaksanaan dalam berpandangan dan lumpuh daya pikir, kreativitas dan inisiatifnya yang sehat.
  1. Feodalisme dalam bentuk yang umum (bila cara dan kebiasaan buruknya ini secara terang-terangan ia rentangkan dihadapan kesan mahasiswanya melalui cara penilaiannya yang tidak pernah mengenal kompromi terhadap pandangan lain selain pandangan sendiri).
BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Tindak pidana pendidikan yaitu semua jenis tindakan yang bersifat kejahatan dalam bidang pendidikan yang dapat di lakukan oleh semua orang tidak hanya orang yang ada dalam bidang pendidikan, hal ini akan memberikan kerugian terutama untuk masyarakat sekolah. Di Indonesia tindak pidana pendidikan telah diatur secara khusus demi memperlancar mutu pendidikan dalam Pasal 67-71 UU Nomor 20 tahun 2003.
Secara garis besar bentuk-bentuk tindak pidana yang di lakukan dalam pendidikan di antaranya:
  1. Ijazah palsu, sertifikat kompetensi, gelar akademik, dan vokasi.
  2. Penyelenggara pendidikan yang dinyatakan ditutup berdasarkan Undang-Undang ternyata masih beroperasi .
  3. Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
  4. Penyelenggara pendidikan yang memberikan gelar guru besar yang tidak sesuai dengan Undang-Undang.
  5. Penyelenggara pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tidak sesuai dengan yang disyaratkan Undang-Undang.
  6. Lulusan yang karya ilmiah yang di gunakan akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan.
  7. Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin pemerintah atau pemerintah daerah.

  1. Saran
Masih perlunya pengkajian ulang dan lebih lanjut terhadap hukum tindak pidana pendidikan yang lebih spesifik, karena dewasa ini pelaku tindak pidana pendidikan tidak hanya guru melainkan lebih luas. Maka diharapkan ada hukum yang lebih spesifik mengatur masalah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA


Defyudi, Achmad. 2014. “Kajian Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Halim,  A. Ridwan, 1985. Tindak Pidana Pendidikan. Jakarta: Ghalia Indonesia.  
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencagahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Bab X pasal 67-71.

Undang-undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional), UU RI No. 20 Th 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) KUHP.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bunga Rampai"

Posting Komentar